Selasa, 24 November 2009

Bushido, Sebuah Transformasi Nilai Karakter Bangsa melalui Jalan Hidup Samurai (Refleksi untuk Indonesiaku)


(dari juara 3 lomaba essay jepang nasional AKMAL mahasiswa universitas PARAMADINA)

Transformasi adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. Tanpa tranformasi maka dapat dipastikan bahwa manusia tidak akan bertahan. Begitu juga dalam konteks masyarakat atau bangsa. Bangsa yang tidak mau ataupun tidak mampu melakukan transformasi, tidak akan survive menghadapi perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan kemajuan teknologi.

Satu cerita sukses dalam transformasi nilai-nilai tradisional ke dalam kehidupan modern muncul dari bangsa Jepang. Negara ini dikenal di seluruh dunia sebagai sebuah negara tempat munculnya ide-ide brillian dan inovasi teknologi robot sebagai pengganti manusia di era milenium. Ia juga memiliki fragmen-fragmen yang seringkali diteropong oleh negara-negara manapun. Reformasi besar yang terjadi dan menyeluruh di bidang pendidikan modern tanpa menghilangkan substansi nilai-nilai budayanya.

Jepang yang modern tidak dapat dipisahkan dari sejarah kebangkitan bangsanya dari keterpurukan akibat pergulatan kekuasaan hingga tahun 1868. ”Restorasi Meiji” adalah titik balik dalam sejarah agung bangsa Jepang setelah menghadapi problema dalam berbagai bidang kehidupan. Sejak saat itulah, kesadaran mulai dirasakan, adanya kekuatan-kekuatan besar di luar mereka yang kemudian menggerakkan bergulirnya modernisasi. Restorasi Meiji merupakan usaha besar Kaisar Meiji untuk menciptakan Jepang yang baru, yaitu transformasi dari negara terisolasi dan miskin menjadi negara modern dan eksis dalam kancah internasional. Hal ini kemudian terealisasi di abad dua puluh.


Salah satu kepribadian bangsa Jepang yang berhasil mengawal dalam proses transformasi adalah karakter-karakter yang bersumber dari semangat bushido. Semangat yang telah menjadi pondasi dasar dan berakar pada bangsanya.

Bushido dikenal sebagai tata cara ksatria, sebuah kode etik kepahlawanan golongan samurai dalam feodalisme Jepang. Sedangkan samurai sendiri adalah sebuah strata sosial penting dalam tatanan masyarakat feodalisme Jepang. Makna bushido adalah sikap rela mati demi negara dan kaisar hingga para samurai rela mempertaruhkan nyawa demi itu. Jika ia gagal, ia akan melakukan harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau, membelah perutnya).

Bushido sudah dilakukan saat perang dunia II, yaitu menjadi prajurit berani mati ketika mereka kalah dari pertempuran. Bushido atau “jalan hidup Bushi” bersumber dari agama Budha, aliran Zen, kepercayaan Shinto yang menyembah Dewa Matahari dan ajaran Konfusius yang merupakan etika moral kaum samurai telah dikumandangkan pada masa Shogun Tokugawa. Semua ajaran ini menanamkan sikap moral positif seperti keberanian, kehormatan dan harga diri, kesetiaan dan pengendalian diri, kesungguhan, kejujuran, hemat, kemurahan dan kerendahan hati, kesopanan dan keramahtamahan, kerja keras, tidak individualis, tidak egois, bertanggungjawab, bersih hati, harus tahu malu, serta mementingkan hubungan moral antara atasan dengan bawahan, ayah dengan anak, suami dengan isteri, kakak dengan adik, teman dengan teman.

Semangat bushido para samurai dengan pedang-pedangnya ditantang untuk mampu melawan kekuatan bangsa Amerika, Eropa, dan bangsa jenis apapun. Sejak saat itu mereka berpikir untuk bangkit setara dengan bangsa-bangsa asing.

Nilai-nilai bushido telah berkembang pada bangsa Jepang dengan alur hidup samurai yang berasal sebelum Zaman Heian. Menjadi jalan dan jembatan menuju peradaban maju serta telah menjadi budaya yang telah tertanam sejak dulu. Paradigma bushido ini dipandang memberi tekanan pada segi mental spiritual di atas segi lahiriah dan material. Walaupun segi lahiriah dan material tidak diabaikan, tapi yang dianggap menentukan dalam mencapai hasil adalah aspek mental.

Sebuah karakter yang kuat, telah lahir dari masa lalu tertuang sebagai filosofi bahwa bangsa Jepang lahir dari kebesaran semangat para pendahulunya. Bushido identik dengan karakter manusia. Nilai-nilai karakter itu telah terimplementasi dalam zona kehidupan bangsa Jepang sekarang. Motoyasu Tanaka, kementrian luar negeri Jepang pernah mengatakan bahwa mental manusia Jepang telah lama diwarisi dan terbentuk oleh mental bushido atau jalan hidup samurai. Pada buku Taro Sakamato terjemahan Sylvia Tiwon (1982 : xi), dalam pengantar, Mochtar Lubis memaparkan bahwa kekuatan Jepang utama adalah kesatuan bangsa, kesatuaan kebudayaan dan nilai-nilainya. Titik acuan inilah yang menegaskan pula bahwa Jepang unggul disebabkan kesatuan dan nilai-nilai transformasi yang dimilikinya. Sebuah karakter, dan itu adalah karakter bangsa. Karakter yang harus dimiliki oleh individu sebagai bangsa dari sebuah konstitusi yang disebut sebagai negara.

Salah-satu substansi bushido yaitu malu. Mereka malu terhadap lingkungan apabila melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum. Harakiri menjadi ritual sejak era samurai. Mereka punya semboyan yang sangat keras, menang atau kalah, dan kekalahan harus berakhir dengan kematian. Ketika Jepang memutuskan untuk menyerah kepada Amerika, banyak tentara yang memilih mati. Hal tersebut merefleksikan kekecewaan, dan masuk ke dunia modern dengan transformasi wacana agak berbeda.

Istilah mengundurkan diri bagi para pejabat, menteri, dan sebagainya yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugas sebagai alternatif. Menteri Pertanian Jepang Tahun 2007 yang mengundurkan diri dari jabatannya karena terjerat kasus korupsi, bahkan akhirnya memilih bunuh diri. The Deputy Mayor of Kobe melakukan hal yang sama, karena merasa tidak mampu menjalankan tugas pemulihan Kota Kobe pasca gempa bumi hebat tahun 1995. Melompat dari gedung tinggi, menabrakkan diri dengan kereta yang sedang melaju, dan menutup semua pintu mobil adalah sebagian cara mereka melakukan harakiri. Tak terkecuali remaja pun turut ambil bagian. Gambaran ini merupakan sebagian kecil kasus harakiri. Sehingga angka bunuh diri di Jepang sangat tinggi, sekitar 32.552 orang untuk tahun 2005. Di sisi lain seperti golongan Yakuza atau mafia Jepang, rasa malu dan penyesalan ditunjukkan dengan cara memotong jari tangan mereka.

Karakter bangsa memang memiliki peranan penting dalam menentukan kekuatan dan kemampuan bangsa untuk mencapai tujuan pembangunan. Karakter bangsa adalah unsur penting bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jauh di Amerika sana, presiden ke-32 yaitu Franklin Delano Roosevelt pernah menyatakan bahwa karakter bangsa sama pentingnya dengan sumber daya fisik yang dimiliki bangsa itu untuk mencapai kemajuan bangsanya. Ini terbukti dari kerja keras, motivasi dalam mencapai sukses, inovasi, loyalitas, usaha yang tak kenal menyerah, dan keterampilan dengan kemampuan menguasai berbagai teknologi tinggi di Jepang. Karakter yang telah terbukti membawanya dikenal dan diperhitungkan di dunia, tak terkecuali di Indonesiaku.

Di mata anak-anak Indonesia, Jepang dilirik karena kekuatan dunia kartun dan komik yang mewabah. Di mata dunia, ia dipandang karena keperkasaan untuk bangkit mensejajarkan diri sebagi negara maju di belahan dunia. Bahkan ia dikenal sebagai pesaing Amerika. Ezra F. Vogel telah menulis buku Japan as number I lessons for American. Dalam pengantar dituliskan dengan terjemahan sebagai berikut “makin banyak saya mengamati sukses Jepang di berbagai lapangan, semakin saya yakin, bahwa dengan sumber-sumber alam yang terbatas, Jepang telah lebih berhasil mengatasi sejumlah masalah pokok dari masyarakat, pasca industri dibandingkan dengan negara lainnya. Dalam kerangka inilah saya menyimpulkan, bahwa bangsa Jepang adalah nomor satu” (Sulastomo, 2000:78).

Kerja keras, disiplin tinggi, dan pantang menyerah telah menjadi bagian bangsa Jepang. Ia bisa bangkit dari keganasan bom atom yang melibatkan reaksi fisi dan fusi, kekalahan dari perang dunia II, dan gempa terbesar yang pernah melanda berbagai kotanya. Dengan kerja keras, bangsa Jepang tercatat memiliki jam tersibuk di dunia. Kedisiplinan yang dimiliki membuat tata kehidupan semakin optimal. Inovasi dan kerjasama (persatuan) telah menjadi pengikat erat untuk menciptakan sebuah inovasi. Sehingga produk-produk made in Japan telah mendominasi pasaran dunia. Kesemua itu diolah dan merupakan hasil rancangan dari “tangan-tangan” yang selalu optimis ke depan untuk berbuat lebih dari yang ada sebelumnya. Hal itu harus melekat di semua komponen bangsa.

Modernisasi yang terjadi pada Jepang tidak menampakkan kecenderungan ke wajah individualisme. Juga tidak mengekspresikan wajah meningkatnya perang antar saudara. Tapi diwarnai dengan solidaritas dan kegotong-royongan. Budaya untuk tetap semangat, menjaga sebuah warisan leluhur atau budaya tradisional. Bahkan membudayakan hal terkecil, seperti budaya membaca bukan lagi hal tabu untuk dilirik dari negeri ini. Ia mampu menyerap modernisasi dan secara alami mampu mempertahankan nilai-nilai budaya. Karena nilai-nilai itu sebenarnya mampu memfilter ekses-ekses negatif dari modernisasi yang diarunginya. Ibarat sebuah pedang samurai, memiliki dua mata pisau yang melambangkan nilai tradisional dan modernisasinya.

Transformasi nilai-nilai bushido kelihatan sempurna dan adaptif. Dengan efisiensi yang sedemikian tinggi, ia terus berkompetisi. Negeri itu membalas kekalahan pada Perang Dunia II dengan “bom superior” dan ketanggguhan karakter bangsa yang dimiliki.

Ini adalah refleksi untuk Indonesiaku. Dengan sumber daya manusia yang jauh lebih besar, seharusnya akan lebih banyak tercipta pemikir-pemikir yang membawa kemajuan pada rakyatnya.

Tidak dapat dipungkiri, bangsa ini telah memiliki karakter yang kuat, sebagai contoh semangat kejuangan atau kepahlawanan telah terbukti berhasil merebut kemerdekaan dan berdaulat penuh. Sejumlah prestasi pun telah banyak memenuhi diari Indonesia. Banyak anak bangsa yang meraih prestasi yang patut diperhitungkan di dunia. Menjuarai even-even internasional dan bisa merebut medali emas dalam olimpiade. Sebuah prestasi yang secara implisit memberikan arti penting bahwa sebenarnya Indonesia juga memiliki kemampuan pola pikir logik unggul dan setara dengan bangsa-bangsa besar di dunia.

Dalam sambutan peluncuran buku ”Potret Kontitusi Pasca Amandemen UUD 1945” oleh A.M. Fatwa di Gedung MPR baru-baru ini, Wijayanto, MPP (Deputi Rektor Universitas Paramadina Bidang Deputi Kerjasama, Pengembangan Bisnis, dan Kemahasiswaan) menekankan salah satu masalah di Indonesia adalah belum memiliki karakter yang baik. Bangsa kita saat ini dihadapkan pada sejumlah paradoks terkait dengan pembangunan karakter bangsa. Karakter yang jauh berbeda dengan karakter-karakter yang pernah dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Bung Hatta, memberikan contoh karakter pemipin yang bersih. Tapi sekarang kita seakan bangga ketika negeri ini juga meraih medali emas dalam Coruptor Olympiad. Belum lagi peserta kompetisi itu adalah orang-orang yang disegani dan dihormati rakyat. Reformasi yang telah bergulir selalu meneriakkan pemberantasan korupsi, hanya melahirkan benih-benih yang makin berjamur. Masalah lain yang sebenarnya perlu diajarkan untuk anak-anak SD, masih dipraktekkan oleh para pegawai hingga pejabat yang duduk di dewan sana. Malu, dengan jabatan

Secara pribadi penulis ingin melihat kembali karakter bangsa Indonesia. Moral-moral yang unggul dari bangsa. Bangsa yang bisa bersanding dengan negara-negara maju dengan tidak kehilangan identitas diri. Jepang negeri kecil, tapi ia mampu mentransformasikan substansi nilai-nilai terdahulunya. Sehingga membawa Jepang menjadi yang sekarang terkenal di dunia.

Pembinaan karakter di tengah besarnya modalitas Indonesia untuk menjadi lebih optimal dalam tatanan pembangunan peradaban harus menjadi prioritas utama. Apalagi di tengah bangsa yang juga mengarungi luasnya samudera global. Karena yang perlu dicermati, hanya bangsa-bangsa yang memiliki karakter kuat dan tangguh akan sanggup menghadapi berbagai tantangan pembangunan global. Bangsa yang kuat dan tangguh akan sanggup untuk mengubah berbagai tantangan itu menjadi peluang menguntungkan. Kita tak perlu jauh meneropong ke arah Barat sana. Apa yang dicapai bangsa Jepang dewasa ini adalah perjalanan yang memeras keringat. Tanpa sumber alam yang berarti, jumlah penduduk yang banyak dan padat untuk sebuah negeri kecil, ia tidak saja dapat tetap menghidupi rakyatnya, tetapi bahkan membuat bangsa Barat ”gigit jari”.

Yang ”besar” harus punya malu belajar kepada yang ”kecil”, sudah tidak berlaku lagi. Indonesia kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia serta kawasan luas, tidak perlu malu belajar sekaligus berefleksi pada transformasi kebangkitan bangsa Jepang. Karena karakter yang dimiliki suatu bangsa ditentukan oleh karakter warga bangsanya. Mereka yang maju dan berhasil menjadi negara-negara terkemuka umumnya memiliki warga yang sarat dengan karakter unggul dan belajar dari keberhasilan negeri lain. Pada masa-masa yang sarat dengan gejala politik, sosial, dan ekonomi. Bangsa Jepang pun tidak segan-segan menyerap pola pikir dan cara hidup bangsa lain sebagai titik tolak untuk perubahan bangsanya.

Jika ingin kemakmuran 1 tahun, tumbuhkan benih

Jika ingin kemakmuran 10 tahun, tumbuhkanlah pohon

Jika ingin kemakmuran 100 tahun, tumbuhkanlah manusia

Kata-kata di atas merupakan analek konfusius yang dipakai para pemimpin Jepang untuk memajukan negaranya. Makna tumbuhkanlah manusia berarti harus bermula pada karakter bangsa. Jika Jepang bisa, Indonesiaku pun harus bisa.














Daftar Pustaka

Farida. 2009. Bukti Tanda Dahsyatnya Bom Atom di Hiroshima Jepang, yang Menjadi Misteri Selama Ini. (http://fereedaali.multiply.com/journal/item/192, diakses september 2009, pukul 18.15 WIB)

Ikmal. 2008. Kata-kata Mutiara Tokoh Dunia. (http://ikmal.wordpress.com,

diakses 23 September 2009, pukul 07.45 WIB)

Issa, Asriana Sofia. 2009. Budaya Jepang dan Transformasi, Paramadina Univecity. Indonesia. (Wawancara Langsung)

Kawasaki, Ichiro. 1969. Japan Unmasked. Japan : The Charles E. Tuttle

Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta : Sinar Harapan

Oetomo, Jakob. 2000. Indonesia Abad XXI di Tengah Kepungan Perubahan Global. Jakarta: Harian Kompas

Sakamoto, Taro. 1982. Jepang Dulu dan Sekarang. Diterjemahkan oleh : Tiwon, Sylvia. Gadjah Mada Univercity Press, Jakarta

Sulastomo. 2000. Prediksi Perubaahan global. Jakarta: Harian Kompas

Tsunenari, Tokugawa dan Nakamura, 2007, Bushido as character Education, Japan Echo, April, pp. 53-56.

Zahra. 2008. Restorasi Meiji, Sebuah pembelajaran Buat Indonesia (http://mandaazzahra.wordpress.com/2008/06/10/restorasi-meiji-sebuah-pembelajaran-bagi-indonesia/, diakses 27 September)

0 komentar:

Posting Komentar